MIkroalga

Spirulina sp.

Spirulina merupakan salah satu mikroalga yang trmasuk ke dalam kelompok Cyanobacteria. Spirulina berbentuk filamen, biasanya hidup di danau atau di perairan dengan kandungan garam yang tinggi. Saat ini spirulina banyak dimanfaatkan dalam bioteknologi nutrisional, industri, lingkungan, serta banyak dimanfaatkan juga sebagai bahan tambahan makanan pada pakan ikan (Ahsan et al 2008) . Hal ini dikarenakan kandungan  beberapa zat seperti protein, mineral, vitam B12, karatenoida, asam lemak esensial seperti asam linolenat (Henrikson 2009). Spirulina dimanfaatkan sebagai bahan makanan pada manusia dikarenakan hasil ekstraksinya menunjukkan beberapa keuntungan fisiologis seperti antioksidan, antimicrobial, anti-inflamantory, antiviral, dan antitumoral (Spolaore et al 2006)

Spirulina merupakan ganggang renik multiselular berbentuk filamen yang tersusun atas sel – sel berbentuk silindris tanpa sekat pemisah (septa), tidak bercabang dengan trikhoma berbentuk heliks dna berwarna hijau kebiruan. Panjang trikhoma sekita 20 mm. Pada sitoplasma spirulina tampak adanya granula sitoplasma yang emngandung vakuola gas. Terdapat 4 lapisan dinding sel pada sitoplasma. Lapisan eksternal atau lapisan terluar yang posisinya sejajar dengan sel axis dan bersifat gram negatif, lapisan lilitan protein fibril di sepanjang trikhoma, lapisan peptidoglikan yang letaknya menuju kedalam filamen dan menyatu dengan lapisan septa berbentuk cakram tipis, dan selaput lendir dinding sel yang terdiri atas senyawa glukosa dan berfungsi sebagai pelindung sel dari kekeringan dan juga memudahkan pergerakan sel. Spirulina juga memiliki badan polihedral, butir – butir cyanophysin, butir – butir glikogen, ribosom 70S, butir lemak, badan polifosfat, dan vakuola gas dalam kromoplasmanya. Badan polihedral merupakan enzim rubisco dalam bentuk partikel karboksisom pada bakteri, butir – buitr cyanophysin terdiri atas polipeptida berupa aspartat dan arginin serta butir – butir pati, badan polifosfat merupakan tempat cadangan posfat, sedangkan vakuola gas merupakan kantong – kantong udara berbentuk silindris yang tersusun kelompok dengan fungsi untuk menyimpan oksigen, mengambang, dan mempertahankan berat jenis sel terhadap berat jenis air.  Tilakoid spirulina tersebar didalam kromoplasma yang merupakan tempat melakukan fotosintesis untuk menghasilkan klorofil a (Kabinawa 2006)

 

 

 

Gambar spirulina

Dunaliella salina

Dunaliella merupakan mikroalga uniselular dengan dua flagela dan termasuk kedalam alga hijau (Chlorophyta, Chloropyceae). Dunaliella memiliki morfologi tubuh seperti Chlamydomonas dengan dua perbedaan utama yang terdapat pada dinding sel Dunaliella. Dunaliella memiliki dua flagella yang sama panjang dan tunggal, bentuk kloroplas seperti cangkir. Bentuk sel yang bervariasi, menjadi oval, bulat, silindris, ellips. Sel dalam setiap spesies tertentu dapat berubah bentuk dengan perubahan kondisi, akan menjadi bulat jika kondisi tidak mendukung. Ukuran sel juga bervariasi dengan kondisi pertumbuhan dan intensitas cahaya yang mempengaruhi. Sel – sel akan membelah dengna memanjang menjadi bagian – bagian lain dengan memanjang pada kondisi motil. Dlam kondisi tertentu, sel Dunaliella dapat berkembang ke tahap palmelladan tertanam di dalam lapisan tebal lendir, atau membentuk aplanospore dengan dinding tebal dan kasar.  (Borowitzka 2000)

Dunaliella merupakan jenis fitoplankton laut yang hidupnya di pesisir pantai dan air danau yang memiliki salinitas garam yang tinggi atau bersifat halofilik. Dunaliella juga memiliki pH toleransi dari pH 1-11 (Massyuk 2000). Dunaliella juga merupakan salah satu organisme eukariotik yang paling ramah lingkungan dan dapat mengatasi berbagai salinitas air laut dengna kisaran 3% NaCl sampai kejenuhannya 31% NaCl, dan temperatur kisarannya dari 0°C-38°C (Borowitzka 2000)

Dunaliella salina yang berwarna merah- oranye disebabkan oleh kandungan beta karotenoid dan campuran karotenoidnya yang tinggi. Dunaliella dalam pemanfaatannya dapat sebagai bahan makanan pada manusia, seperti menstimulasi sistem imunitas, detoksifikasi alami, anti kanker, antioksidan, dan penambah energi dan vitalitas (Lee et al 2000)

 

 

 

 

Gambar Dunaliella

Chlorella sp.

Chlorella sp. merupakan jenis mikroalga yang memiliki bentuk sel bulat, hidup soliter, berukuran 2- 8 µm. Dalam sel Chlorella mengandung 50% protein , lemak serta vitamin A, B, D, E, dan K serta terdapat klorofil yang berfungsi sebgai kalatisator dalam fotosintesis. Chlorella termasuk ke dalam jenis eukariotik dan bersifat autotrof, merupakan jenis ganggang bersel satu yang tidak bergerak dengan ciri – ciri bentuk sel seperti bola, protoplasmanya berbentuk mangkok kecil, reproduksi aseksual dengan cara membelah diri (Round 2001)

Algae Chlorella sp. memiliki habitat hidup di tempat basah atau berair. Chlorella dapat tumbuh pada salinitas 225 ppt dan tumbuh lambat pada salinitias 15 ppt serta hampir tidak tumbuh pada salinitas 0 ppm dan 60 ppm. Tumbuh pada suhu 20°C, tumbuh lambat pada suhu 32°C. Tumbuh sangat baik pada suhu 20°-23°C. Pertumbuhan Chlorella dapat diukur dengan cara mengamati dan menghitung perkembangan jumlah sel (Kataraman 2000).

Chlorella juga mengandung gizi yang cukup tinggi yaitu protein 42,2%, lemak kasar 15,3%, nitrogen dalam bentuk ekstrak, kadar air 5,7%, dan serat 0,4%. Chlorella juga menghasilkan antibiotik yang disebut Chlorellin yang dapat melawan penyakit – penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Round 2001). Pemanfaatan mikroalga ini sudah sangat terkenal diantaranya dimanfaatkan sebagai makanan ikan dan juga untuk makanan bergizi serta sebagai pengolah limbah pabrik, peternakan, industri logam dan pengolahan air limbah (Round 2001)

 

 

 

 

Gambar Chlorella

Scenedesmus sp.

Scenedesmus merupakan kelompok mikroalga dan yang paling beragam karena ada yang bersel tunggal, koloni dan bersel banyak.  Sel Scenedesmus berbentuk silindris dan umumnya membentuk koloni. Koloni Scenedesmus terdiri dari 2, 4, 8, atau 16 sel tersusun secara lateral. Ukuran sel bervariasi, panjang sekitar 8–20 µm dan lebar sekitar 3–9 µm. Struktur sel Scenedesmus sederhana. Sel Scenedesmus diselubungi oleh dinding yang tersusun atas tiga lapisan, yaitu lapisan dalam yang merupakan lapisan selulosa, lapisan tengah merupakan lapisan tipis yang strukturnya seperti membran, dan lapisan luar, yang menyelubungi sel dalam koloni. Lapisan luar berupa lapisan seperti jaring yang tersusun atas pektin dan dilengkapi oleh bristles. Ciri umum Scenedesmus Berwarna hijau terang, kosmopolitan (air tawar, payau, asin. Dari oligotrof sampai eutrof, memiliki anggota terbanyak, eukariot (umumnya uninucleate), ada yang unisel, koloni dan filamen, pigmen yang dimiliki: klorofil a,b, karoten (ֶα,β,γ) dan beberapa xantofil, dinding sel terbuat dari selulosa atau polimer xylosa atau mannosa atau hemiselulosa. Sedangkan ciri-ciri khusus Scenedesmus itu sendiri sebagian anggota memiliki flagel -à dapat bergerak sedikit, bentuk flagel isokontae, jumlah dan letak sangat bervariasi (apikal, subapikal, lateral). . Kloroplasnya beraneka bentuk dan ukurannya, ada yang seperti mangkok, seperti busa, seperti jala, dan seperti bintang, penyusunnya sama seperti pada tumbuhan tingkat tinggi yaitu amilase dan amilopektin (Matsunaga et al 2009)

Scenedesmus biasanya hidup di air tawar, air laut, air payau tanah – tanah yang basah, ada pula yang hidup di tempat – tempat kering. Pada umumnya melekat pada batuan, dan seringkali muncul kepermukaan apabila air surut merupakan suatu penyusun plankton atau sebagai bentos. Yang bersel besar ada yang hidup di air laut, terutama dekat pantai. Ada jenis chlorophyceae yang hidup pada tanah-tanah yang basah. Bahkan diantaranya ada yang tahan akan kekeringan. Sebagian lainnya hidup bersimbiosis dengan lichenes, dan ada yang intraseluler pada binatang rendah. Sebagian yang hidup di laut merupakan makroalga seperti Ulvales dan siphonales. Scenedesmus yang hidup di air tawar memiliki sifat kosmopolit, terutama yang hidup di tempat yang terkena cahaya matahari langsung seperti kolam, danau dan genangan air hujan, sungai atau selokan. Alga hijau juga ditemukan dilingkungan semi akuatik yaitu pada batu-batuan dan kulit batang pohon yang lembab (protococcus dan trentepotia. Beberapa anggotanya hidup di air yang mengapung atau melayang. Beberapa jenis ada yang hidup melekat pada tumbuhan atau hewan (Matsunaga et al 2009)

Berperan sebagai produsen dalam ekosistem. Berbagai jenis alga yang hidup bebas di air terutama yang tubuhnya bersel satu dan dapat bergerak aktif merupakan penyusun pitoplankton. Sebagian fitolankton adalah alga hijau, pigmen klorofil yang dimilikinya aktif melakukan fotosintesis sehingga alga hijau merupakan produsen utama dalam ekosistem perairan. Peranan Scenedesmus bagi kehidupan manusia antara lain, digunakan dalam penyelidikan metabolisme di laboratorium. Juga dimanfaatkan sebagai bahan untuk obat-obatan, bahan kosmetik dan bahan makanan. Pengembangannya saat ini di kolam-kolam (contohnya di Pasuruan). Scenedesmus mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: Produsen primer (penyedia oksigen), Sumber pakan alami bagi ikan dan organism air lain terutama benih (Stone 2003)

 

 

 

 

 

 

 

Gambar Scenedesmus

Ahsan, M., Habiba,B., and Parvin, Mashuda. 2008,  “A Review On Culture, Production And

Use Of Spirulina As Food For Humans And Feeds For Domestic Animals And Fish”,

FAO Fisheries and Aquaculture Circular, Rome.

Borowitzka LJ, Borowitzka MA. 1989a. B-carotene (Provitamin A) production with algae. In Vandamme EJ (ed.). Biotechnology of Vitamins, Pigments and Growth Factors. Elsevier Applied Science, London, 15–26.

Henrikson, R, (2009),  “Earth Food Spirulina How this remarkable blue-green algae can

transform your health and our planet”, Ronore Enterprises, Inc. , Hawaii, USA.

Kabinawa K. 2006. Spirulina Ganggang Penggempur Aneka Penyakit. AgroMedia Pustaka: Jakarta

Kataraman V, 2001, The Cultivation of Algae Indiana Council of Agriculture Resources, India.

Lee et al. 2000. Carotenoid supplementation reduces erythema in human skin after simulated solar radiation exposure. Proc Soc Exp Biol Med; 223(2):170-4

Massyuk NP. 1973. Morphology, Taxonomy, Ecology and Geographic Distribution of the Genus Dunaliella Teod. and Prospects for its potential Utilization. Naukova Dumka, Kiev.

Matsunaga et al 2009. Characterization of marine microalga,Scenedesmus sp. strain JPCC GA0024 toward biofuel production. Biotechnol Lett (2009) 31: 1367-1372

Round F., 2000, Bio The logy of The Algae Second Edition, Edward Arnold, Ltd, London.

Stone, D. 2003. .Biodiversity of Indonesia. Singapore: Tien Wah Press.

kitosan sebagai pengendali mikroba

Metode pengendalian mikroba

            Mikroorganisme dapat dikendalikan dengan beberapa metode diantaranya secara kimiawi, suhu panas, radiasi, dan filtrasi. Secara kimiawi dengan menggunakan bahan – bahan antiseptik, desinfektan, senyawa antimikroba dari bahan alami maupun sintetik. Selain dengan kimiawi, suhu panas juga dapat mengendalikan mikroba seperti Sterilisasi, pasteurisasi, Tyndalisasi, boiling, red heating, flaming. Dengan radiasi meliputi sinar UV, sinar ionisasi yang terdiri dari sinar x, sinar alfa, sinar beta, sinar gamma. Dengan filtrasi yaitu filter bakteriologis dan filter udara (Fardiaz dan Srikandi 2000)

Senyawa – senyawa antimikroba biasanya bersifat sidal (mematikan) maupun statik (menghambat) dengan cara merusak sel dan mengganggu proses metabolisme seluler. Salah satu cara untuk mengendalikan mikroba dengan menambahkan bahan aditif berupa zat antimikroba dalam bentuk rempah – rempah. Zat antimikroba alami berupa bawang merah, kunyit, jeruk nipis dan garam. Sedangkan yang sintetis atau buatan berupa amoxylin, benzoat (dalam bentuk asam), propionat (dalam bentuk asam), Nitrit (dalam bentuk garam kalium atau natrium nitrit) dan Nitrat (dalam bentuk garam kalium atau natrium nitrat), sorbat (dalam bentuk garam kalium atau kalsium sorbat), dan sulfit (dalam bentuk garam kalium atau natrium bisulfit atau meta bisulfit) (Buckle 2000)

Kitosan dan mekanisme penghambatannya

Chitosan merupakan produk alamiah yang merupakan turunan dari polisakarida chitin. Chitosan mempunyai nama kimia Poly D-glucosamine ( beta (1-4) 2-amino-2-deoxy-D-glucose), bentuk chitosan padatan amorf bewarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila chitosan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100°F maka sifat kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi berkurang. Hal ini dapat digambarkan seperti kapas atau kertas yang tidak stabil terhadap udara, panas dan sebagainya. Chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik (Wardaniati dan Setianingsih 2006)

Reaksi pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida oleh suatu basa. Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu chitosan. Proses pembuatan kitin meliputi tiga tahapan yaitu deproteinasi (pemisahan antara endapan dengan campuran), demineralisasi (penghilangan mineral), dan deasetilasi  (Hargono et al 2008)

Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat khitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan khitosan. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi dalam pengawetan makanan yaitu molekul chitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa pada permukaan cell bakteri kemudian teradsorbi membentuk semacam layer (lapisan) yang menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami kekurangan substansi untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel.  Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam asetat encer (1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif aman (Wardaniati dan Setianingsih 2006)

DAFTAR PUSTAKA

Buckle. 2000. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press

Fardiaz, Srikandi. 2000. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hargono et al. 2008. Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. [Jurnal]. Semarang: Jurusan teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro

Wardaniati RA, Setyaningsih S. 2006. Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang Dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. [Makalah Penelitian]. Semarang: Jurusan teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro

Kromatografi

Kromatografi

Kromatografi adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk bermacam-macam teknik pemisahan yang didasarkan atas partisi sampel diantara suatu rasa gerak yang bisa berupa gas ataupun cair dan rasa diam yang juga bisa berupa cairan ataupun suatu padatan. Menurut Putra (2004), metode pemisahan kromatografi berdasarkan gaya – gaya antar fase yang bekerja terbagi atas empat, yaitu penyerapan (adsorpsi), pertukaran ion, partisi, dan penyaringan.

Berbagai metode kromatografi memberikan cara pemisahan paling kuat dilaboratorium kimia. Metode kromatografi, karena pemanfaatannya yang leluasa, dipakai secara luas untuk pemisahan analitik dan preparatif. Biasanya, kromatografi analitik dipakai pada tahap permulaan untuk semua cuplikan, dan kromatografi preparatif hanya dilakukan juka diperlukan fraksi murni dari campuran. Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan cara mengotak-atik langsung beberapa sifat fisika umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat ialah : (1) Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan), (2) Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorpsi, penjerapan), dan (3) Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (keatsirian) (Meronda 2009)

Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan menggunakan salah satu dari empat teknik kromatografi atau gabungan teknik tersebut. Keempat teknik kromatografi itu adalah : Kromatografi Kertas (KKT), Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Gas (KGC) dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) (Meronda 2009)

Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar bergantung pada sifat kelarutan dan keatsirian senyawa yang akan dipisah. Kromatografi kertas dapat digunakan terutama bagi kandungan tumbuhan yang mudah larut dalam air (karbohidrat, asam amino dan senyawa fenolat), Kromatografi lapis tipis merupakan metode pilihan untuk pemisahan semua kandungan yang larut lipid (lipid, steroid, karotenoid, kinon sederhana dan klorofil), Kromatografi gas penggunannya terutama untuk senyawa atsiri (asam lemak, mono- dan seskuiterpen, hidrokarbon dan senyawa belerang), cara lain yaitu Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, dapat memisahkan kandungan yang keatsiriannya kecil. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi adalah suatu metode yang menggabungkan keefisienan kolom dan kecepatan analisis (Meronda 2009)

Thin Layer Chromatography (TLC)

            TLC (Thin Layer Chromatography) yang biasa disebut Kromatografi lapis tipis (KLT) bersama-sama dengan kromatografi kertas (KKR) dengan berbagai macam variasinya pada umumnya dirujuk sebagai kromatografi planar. Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Settle 2001)

Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat (Settle 2001)

TLC mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan HPLC dan GC, yaitu KLT memberikan fleksibilitas yang lebih besar, dalam hal memilih fase gerak, berbagai macam teknik untuk optimasi pemisahan seperti pengembangan 2 dimensi, pengembangan bertingkat, dan pembaceman penjerap dapat dilakukan pada TLC, proses kromatografi dapat diikuti dengan mudah dan daat dihentikan kapan saja, semua komponen dalam sampel dapat dideteksi (Settle 2001)

Penjerap atau fase diam yang paling sering digunakan pada TLC adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi-desorpsi (suatu mekanisme perpindahan solut dari fase diam ke fase gerak atau sebaliknya) yang utama pada TLC adalah partisi dan adsorbsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral. Beberapa penjerap TLC serupa dengan penjerap yang digunakan pada HPTLC. Kebanyakan penjerap dikontrol keajegan ukuran partikel dan luas permukaannya. Beberapa prosedur kromatografi, terutama pemisahan yang menggunkan larutan pengembang anhidrat, mensyaratkan adanya kontrol kandungan air dalam silika. Kandungan air yang ideal adalah antara 11-12 % b/b. Lempeng silika gel dapat dimodifikasi untuk membentuk penjerap fase terbalik dengan cara membacemnya menggunakan parafin cair, minyak silikon, atau dengan lemak. Lempeng fase terbalik jenis ini digunakan untuk identifikasi hormon-hormon steroid (Kealey 2002)

Fase Gerak pada KLT adalah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak, yaitu : Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif, daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan, untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan, solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam (Kealey 2002)

DAFTAR PUSTAKA

Kealey, D and Haines, P.J., 2002, Instant Notes: Analytical Chemistry, BIOS Scientific Publishers Limited, New York.

Meronda G. 2009. Pemilihan Teknik Kromatografi. [Makalah].  Bandung: Universitas Padjajaran

Putra. 2004. Kromatografi Cair KinerjaTinggi dalam Bidang Farmasi. [Makalah]. Medan. Jurusan Farmasi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara

Settle, F (Editor), 2001, Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry, Prentice Hall PTR, New Jersey, USA.

Laporan Fieldtrip PHP

Laporan Praktikum                                            Hari/tanggal: Sabtu/ 21 April 2012

m.k Penanganan Hasil Perairan                                 Asisten        : Afif Zulfikar Ghani

                                                                         

LAPORAN FIELDTRIP PENANGANAN HASIL PERAIRAN

DI PELABUHAN RATU, SUKABUMI, JAWA BARAT

 

 

Disusun oleh :

Kelompok 6

Emilia Dian P  .                                   C34100012

Bianca Benning                                   C34100017

Risvan Hutabarat                                C34100036

Siti Mayang Sari                                 C34100054

Annisa Wulandari                               C34100056

Mulita Indiana                                      C34100058

Rahma Yulia I.                                    C34100059

Mahisha S A                                       C34100074

 

 

 

 

 

 

Departemen TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

Fakultas PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Institut Pertanian Bogor

Bogor

2012

1 PENDAHULUAN

 

1.1       Latar Belakang

Laut Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang besar terutama potensi perikanan laut dari segi jumlah ataupun keragaman jenis. Luas laut Indonesia kurang lebih 5,8 juta km2 dengan garis panatai sepanjang 81.000 km. Laut Indonesia yang luas menyediakan sumberdaya ikan laut dengan potensi lestari sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan di Indonesia sebesar 80% dari potensi lestari sumberdaya ikan laut yaitu sebesar 5,12 juta ton (Nurjanah et al. 2011).

Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan laut yang besar salah satunya dilakukan melalui kegiatan perikanan tangkap. Perikanan tangkap di Indonesia sekarang ini masih menjadi penyumbang utama produksi perikanan di Indonesia walaupun menunjukkan kuantitas hasil produksi yang berfluktuasi sejak tahun 2000 hingga tahun 2010. Tahun 2000 perikanan tangkap menghasilkan produksi sebesar 3.807.191 ton dan pada tahun 2010 produksi perikanan tangkap telah mencapai angka 5.039.446 ton (KKP 2011).

Potensi sumberdaya ikan laut di Indonesia yang besar terutama karena luasnya variasi spesies perikanan yang hidup di perairan Indonesia. Hasil perikanan digolongkan dalam dua golongan besar yaitu hewan seperti ikan-ikanan dan Mollusca, dan juga tumbuhan seperti rumput laut dan lamun. Selain itu, hasil perikanan di Indonesia memiliki beberapa karakteristik lain, yaitu suplainya tidak konsisten, mudah rusak, dan komponennya tidak stabil. Luasnya variasi spesies ikan di perairan Indonesia menyebabkan tingginya juga keberagaman karakteristik komoditas hasil perikanan. Pengananan dan pemanfaatan yang berbeda untuk komoditas hasil perikanan yang berbeda timbul dikarenakan karakteristik yang berbeda pula pada masing-masing komoditas hasil perikanan (Nurjanah et al. 2011).

1.2       Tujuan

Praktikum lapang ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis biota perairan yang didaratkan di PPN Pelabuhan Ratu, mengetahui penanganan dari pasca panen dan distribusi ikan serta cara pembuatan, penyimpanan dan proses distribusi pada ikan yang sudah dilakukan pengolahan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2 METODOLOGI

 

2.1       Waktu dan Tempat

Praktikum lapang mata kuliah Penanganan Hasil Perairan ini dilaksanakan pada hari Minggu, 15 April 2012 di Tempat Pelelangan Ikan, Pasar Ikan, dan Pemindangan Ikan Tongkol, Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.

2.2       Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam fieldtrip ini adalah ikan pari (Dasyatis kuhlii), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), ikan layur (Trichiurus savala), dan udang jerbung (Penaeus merguiensis). Alat yang digunakan yaitu buku, alat tulis dan kamera.

 

2.3       Prosedur Kerja

Prosedur kerja dilakukan dengan observasi lapang dan wawancara kepada beberapa nelayan setempat yang berada di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu. Observasi bertujuan untuk mengetahui informasi-informasi yang terkait mengenai ikan-ikan hasil tangkapan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu yang dapat dijadikan bahan baku industri hasil perairan.

Dalam melakukan observasi tersebut yang telah dilakukan, yaitu :

  • Observasi Lapangan

Observasi lapangan merupakan kegiatan pengamatan secara langsung terhadap biota-biota laut terutama ikan-ikan yang dapat dijadikan bahan baku industri hasil perairan.

  • Wawancara

Wawancara merupakan kegiatan penggalian informasi terhadap beberapa nelayan yang melakukan penangkapan ikan di sekitar Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu. Wawancara ini sebagai sarana untuk mengetahui informasi-informasi mengenai ikan yang ditangkap, alat yang digunakan untuk menangkap ikan, daerah penangkapan ikan, waktu dan musim penangkapan ikan, pemanfaatannya serta distribusinya. Kegiatan ini dilaksanakan oleh seluruh anggota kelompok. Prosedur kerja praktikum lapang mata kuliah Penanganan Hasil Perairan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram Alir Prosedur Kerja

3 PEMBAHASAN

 

3.1       Udang jerbung (Panaeus merguensis)

3.1.1    Deskripsi dan Klasifikasi

Udang jerbung merupakan salah satu jenis udang paneid yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sebagian besar produksi udang tersebut diperoleh dari hasil tangkapan alam (Komar et al. 2008). Menurut pennak (1978) udang jerbung memiliki taksonomi sebagai berikut :

Kingdom         : Animalia

Filum               : Crustacea

Kelas               : Malacostraca

Ordo                : Decapoda

Famili              : Peneidae

Genus              : Penaeus

Spesies            : Penaeus merguensis

 

Gambar  2 udang jerbung (Panaeus merguensis)

Sumber : koleksi pribadi

Udang jerbung memiliki bentuk rostrum hampir segitiga. Udang ini memiliki warna tubuh kuning jernih. Habitat yang disukai udang jenis ini adalah dasar laut yang berpasir dan berlumpur dengan kedalaman 10-45m. Udang jerbung juga banyak ditemukan pada muara perairan. Hal ini disebabkan muara perairan merupakan daerah yang subur dan menjadi tempat mencari makan udang (Mudjiman 1987).

 

3.1.2    Distribusi

Udang yang ditemukan di Palabuhan Ratu banyak ditangkap di utara Jawa sampai ke pesisir pantai barat Sumatera. Naamin (1984) menyatakan bahwa udang jerbung banyak ditemukan di pantai barat sumatera, Selat Malaka, pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, pantai selatan Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, teluk Bintuni, Kepulauan Aru dan laut Arafura. Udang di Pelabuhan Ratu umumnya dijual pada penduduk sekitar maupun dijual pada pengepul dalam keadaan segar yang hanya diberi pemberian es. Jika udang tidak habis terjual maka udang akan terus diberi es maupun dilakukan pembekuan kembali. Udang yang akan diekspor tidak akan melewati perdagangan dipasar namun akan langsung dibawa ke pabrik sekitar pantai dan harus segera di ekspor. Mudjiman (1987) menyatakan karena udang memiliki kandungan protein yang tinggi, maka udang termasuk komoditas yang mudah rusak, oleh karena itu penanganan udang sangat mempengaruhi mutu hasil olahan. Untuk menjaga agar mutunya tetap baik telah ada standarisasi mutu yang mencakup bahan baku, metode penanganan, metode pendinginan dan sanitasi, baik yang dilaksanakan dalam pabrik maupun dalam pemasaran dan distribusi.

 

3.1.3    Komposisi Kimia

Udang merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki kandungan protein tinggi. Fredrick et al. (2005) menjelaskan bahwa komposisi proksimat udang jerbung adalah kadar air sebesar 75,30%, lemak sebesar 4,29%, kadar protein sebesar 5,7%, kadar abu sebesar 8,62%, dan kadar karbohidrat 29,10%.

 

3.1.4    Pemanfaatan

Udang jerbung banyak diekspor dalam bentuk beku. Udang yang diekspor haruslah dalam bentuk segar. Kadar karbohidrat udang yang tinggi menyebabkan rasa udang manis dan cocok dikalengkan. Udang jerbung yang mengandung banyak protein sehingga udang jerbung cocok dijadikan bahan pangan. Kandungan daging udang yang tinggi protein dan memiliki tekstur yang kenyal dapat dijadikan sebagai bahan baku bakso maupun otak otak (Winarno 1993).

3.2       Ikan Layur (Trichiurus savala)

3.2.1    Deskripsi dan Klasifikasi

Ikan layur jenis Trichiurus savala memiliki jari-jari keras pertama sirip dubur lebih panjang dari setengah mata. Jarak terkecil antara garis rusuk dan dubur lebih dari setengah jarak antara garis rusuk dan dasar sirip punggung. Ikan ini memiliki panjang 13 kali tingginya. Kulitnya tidak bersisik. Warna tubuhnya putih mendekati perak dan sedikit kekuning-kuningan. Mulutnya lebar dilengkapi dengan giginya kuat dan tajam, rahang bawah lebih besar dari rahang atasnya (Badrudin dan Wudianto 2005). Berikut ini merupakan klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984):

Kingdom           : Animalia

Filum                 : Pisces

Kelas                  : Teleostei

Ordo                  : Percomorphii

Famili                 : Trichiuridae

Genus                : Trichiurus

Spesies               : Trichiurus savala

 

Gambar 3 Ikan Layur (Trichiurus savala)

Sumber: Koleksi Pribadi

Ikan layur memiliki badan sangat panjang dan pipih seperti pita. Terdapat gigi yang kuat di kedua rahang gigi yang terletak dibagian depan rahang atas seperti taring runcing dan kuat. Sirip punggung panjang berawal dekat belakang kepal, bagian depan berduri keras yang kadang – kadang terpisah dengan  bagian sirip yang berduri lemah oleh suatu lekukan yang mudah dilihat, bagian yang berduri keras lebih panjang daripada yang beduri lemah. Sirip dada mengecil menjadi seperti duri keras dengan jari – jari berdiameter atau tidak ada sama sekali, sirip dubur pendek, sirip ekor mengecil pada ujungnya, memiliki warna keperakan, dan sedikit gelap sepanjang punggungnya (DKP 2004).

3.2.2    Distribusi

Daerah penyebaran untuk jenis ikan Layur yaitu tersebar di seluruh perairan Indonesia. Ikan layur merupakan penghuni dasar perairan dan pelagis. Melihat dari morfologi kepala, mulut dan gignya ikan layur tergolong jenis predator yang memangsa hewan – hewan lain yang berukuran lebih kecil dari tubuhnya seperti jenis krustaceae, cephalopoda, dan berbagai jenis ikan lainnya.  Alat penangkapan yang biasa digunakan ialah trawl dasar, pancing ulur, jaring insang dan bubu (DKP 2004).

Menurut  Nontji (2005) ikan layur tersebar luas pada semua perairan tropis dan subtropis di dunia.Ikan layur di Indonesia tersebar pada semua perairan pantai di Indonesia. Jenis ikan layur yang banyak terdapat di perairan pantai Pulau Jawa adalah Trichiurus haumela, sedangkan jenis layur yang banyak terdapat di Sumatera adalah Trichiurus savala dan Trichiurus glossodon. Daerah penyebaran layur di Indonesia, yaitu perairan pantai Tuban, Lwang, Jampang, Pelabuhan Ratu, Cibanteng, Ujung Genteng dan Sukawayana (Nurhayati 2006).

Hasil wawancara yang dilakukan pada nelayan yang ada disekitar Palabuhan Ratu ialah jenis ikan layur ditangkap menggunakan alat tangkap longline. Menangkap ikan layur diperlukan umpan berupa ikan tembang. Penangkapan biasanya dilakukan pada malam hari sekitar pukul 20.00 WIB. Fishing ground ikan layur berada di daereah perairan Laut Jawa. Satu kali melakukan perjalanan, hasil tangkapan rata-rata berkisar ratusan kilogram pada musim penangkapannya. Namun untuk musim yang biasa hasil pengangkapan tidak menentu. Ikan layur dijual dengan harga Rp 25.000/ kg. Penanganan yang dilakukan setelah tertangkap biasanya ikan disortir terlebih dahulu dari jenis, ukuran, dan berat, panjang, dan lainnya, setelah itu ikan dikirim ke PT. Auri atau PT. AGB yang ada disekitar Pealabuhan Ratu untuk ditangani lebih lanjut seperti dilakukan pembersihan jeroan, disortir kembali menurut gradenya. Grade untuk masing-masing PT. berbeda-beda bergantung pada ketentuan setiap PT. Tahap berikutnya adalah pengawetan dengan cold storage oleh PT. tersebut unutk mempertahankan mutu ikan yang akan di eksport.

3.2.3    Komposisi Kimia

Komposisi kimia ikan tergantung pada spesies, umur, jenis kelamin dan musim penangkapan serta ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungan. Kandungan protein dan mineral daging ikan relatif konstan, tetapi kadar air dan kadar lemak sangat berfluktuasi. Kandungan lemak pada daging yang semakin besar akan menyebabkan kandungan air yang semakin kecil dan sebaliknya. Ikan selain dikenal memiliki kandungan protein yang tinggi juga memiliki komposisi sam amino yang lengkap serta mengandung lemak yang kaya kan asam lemak tak jenuh atau PUFA yang berkhasiat bagi kesehatan. Ikan layur merupakan salah satu contoh ikan laut, sehingga pada umumnya komposisi minyak ikan lebih kompleks dan mengandung asam lemak tak jenuh rantai panjang yang relatif lebih panjang dibandingkan dengan ikan tawar (Lestari dan Wirjodirjo 2009).

Ikan layur termasuk ke dalam ikan laut yang memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan lemaknya. Ikan ini memiliki 49% bagian yang dapat dimanfaatkan, dengan kata lain rendemen total ikan layur adalah sebesar 49%. Menurut Lestari dan Wirjodirjo (2009) komposisi kimia ikan layur dalam 100gr bagian yang dapat dimakan, yaitu: energi total 82 kkal, kandungan protein 18 gr, kandungan lemak 1 gr dan kandungan karbohidrat 0,4 gr. Komposisi kimai yang seperti ini menjadikan ikan layur terpilih sebagai salah satu komoditas ekspor ikan dari Indonesia. Target pasar luar negeri yang diincar untuk sektor ikan demersal terutama ikan layur adalah negara China dan Korea. Kedua negara ini sangat mempertimbangkan komposisi kimia ikan yang diimpornya terutama kandungan proteinnya. Berdasarkan komposisi kimianya, ikan layur termasuk salah ikan dengan kadar protein tinggi.

3.2.4    Pemanfaatan

Ikan layur merupakan salah satu jenis ikan air laut yang ada di Indonesia. Ikan ini belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Upaya peningkatan kesukaan dan pemanfaatan terhadap ikan ini adalah adanya diversifikasi menjadi produk yang digemari salah satunya adalah kerupuk opak. Kerupuk opak merupakan salah satu bentuk produk kerupuk yang cukup dikenal di daerah Sukabumi. Kerupuk opak dibuat dari singkong secara sederhana dan tidak harus menggunakan teknologi proses yang rumit, sehingga diterapkan dalam usaha skala kecil atau skala rumah tangga. Kerupuk opak ini dinilai mengandung protein tinggi dikarenakan penambahan daging ikan layur. Daging ikan layur yang dimanfaatkan dalam pembuatan kerupuk opak ini adalah 33,33% dari berat total ikan layur utuh (Salamah et al. 2007).

Pemanfaatan lain untuk ikan layur menurut data potensi pengolahan ikan   anatara lain dapat dijadikan ikan pindang, ikan asin, terasi, ikan asap, nugget dan ikan dingin. Pengolahan ikan layur menjadi terasi dan nugget biasanya hanya untuk kebutuhan rumah tangga saja. Sedangkan jenis industri pengolahan ikan asap, ikan asin, ikan pindang dan ikan dingin menghasilkan produk untuk dijual secara lokal maupun ekspor.

Produk lainnya yang dapat diperoleh dari pengolahan ikan layur adalah produk fermentasi hasil perikanan, salah satunya adalah picungan. Semua jenis ikan baik yang berukuran kecil maupun yang berukuran besar dapat digunakan sebagai bahan mentah pada pengolahan picungan. Sebagian besar bahan yang digunakan adalah ikan laut terutma ikan layang, ikan layur dan ikan pari, untuk itu pemanfaatan ikan layur sebagai bahan mentah produk fermentasi. Prosedur pengolahan ikan layur menjadi picungan, yaitu: ikan layur yang segar terlebih dahulu difilet sepanjang garis punggungnya kemudian dicampur dengan biji picung yang telah dibersihkan dengan sedikit ditambahkan garam, selanjutnya disusun dalam keranjang yang telah dilapisi daun pisang untuk kemudian difermentasi selama 2-7 hari tergantung ukuran ikan sehingga didapatkan produk picungan yang berkualitas (Emmawati 2006). Selain picungan, produk fermentasi lainnya yang dapat dibuat dengan memanfaatkan iikan layur adalah kecap ikan. Pembuatan kecap ikan secara fermentasi spontan dilakukan dengan menambahkan garam dalam konsentrasi tinggi sehingga lingkungannya sesuai untuk pertumbuhan mikroba yang berperan dalam proses fermentasi. Pembutan kecap ikan secara fermentasi spontan memiliki beberapa kelebihan yaitu nilai ekonomisnya tinggi, proses pengolahannya mudah dan murah serta bahan baku yang digunakan dapat berasal dari berbagai jenis ikan (Desniar 2007).

 

3.3       Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

3.3.1    Deskripsi dan Klasifikasi

Cakalang adalah ikan pelagis perenang cepat (good swimmer) dan mempunyai sifat rakus (varacious). Ikan ini melakukan migrasi jarak jauh dan hidup bergerombol dalam ukuran besar. Bentuk tubuhnya digolongkan dalam bentuk torpedo yaitu badan fusiform, bagian kepala sangat tebal, ramping dan kuat ke arah ekor dan sedikit pipih pada bagian samping. Penangkapan ikan cakalang dapat menggunakan pole and line, hand line dan tonda. Klasifikasi ikan cakalang menurut Matsumoto et al. (1984) adalah sebagai berikut:

Kingdom         : Animalia

Filum               : Chordata

Kelas               : Teleostomi

Ordo                : Perciformes

Famili              : Scombridae

Genus              : Katsuwonus

Spesies            : Katsuwonus pelamis

Gambar 4 Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Sumber: Patricio (2002)

Cakalang memiliki tubuh fusarium, memanjang dan agak bulat, tapis insang (gill net) berjumlah 53-65 pada helai pertama. Mempunyai 2 sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung pertama terdapat 14-16 finlet dan sirip punggung kedua terdapat 7-9 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada badan dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna gelap disisi bawah dan perut keperakan dengan 4-6 buah garis-garis berwarna kehitaman (gelap) yang memanjang pada bagian sepenjang badan (Matsumoto et al. 1984). Cakalang mempunyai ukuran panjang 50-70 cm dan berat 1500-5000 g, dengan perbandingan rata-rata untuk setiap bagian tubuh adalah sebagai berikut : daging putih 1-2 %, daging merah 10 %, kepala 11-26 %, insang 3,3 %, isi perut 6,6 %, hati 0,9-3,5 %, ekor dan sirip 1,5-2,5 %, tulang 8,1-11,1 % dan kulit 3,8-6,6 % (Kizevetter 1993 dalam Garwan 2009).

3.3.2    Distribusi

            Daerah penyebaran ikan cakalang adalah perairan tropis dan subtropis pada lautan Atlantik, Hindia dan Pasifik kecuali laut Mediterania. Penyebaran ini dibedakan menjadi dua macam yaitu penyebaran horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan (Garwan 2009). Menurut hasil wawancara dengan pedagang di Pelabuhan Ratu, penangkapan cakalang sama dengan penangkapan tuna dan tongkol. Ikan cakalang yang didaratkan ke pelabuhan hampir satu bulan mengalami penanganan setelah ditangkap, setelah ditangkap ikan cakalang tersebut tidak langsung didaratkan ke pelabuhan, namun ditangani di kapal sampai satu bulan di kapal, karena jarak penangkapan yang cukup jauh. Kapal penangkapan menyediakan fasilitas pembekuan dan pendinginan. Menurut Suseno (2007) meyatakan bahwa suhu yang ideal untuk ikan cakalang antara 260 C – 32 0C, dan suhu yang ideal untuk melakukan pemijahan 28 0C – 29 0C dengan salinitas 33 % , Sedangkan menurut Dahuri (2003) cakalang hidup pada temperature antara 16 0C – 30 0C dengan temperature optimum 28 0C. Ikan cakalang menyebar luas diseluruh perairan tropis dan sub tropis pada lautan Atlantik, Hindia dan Pasifik, kecuali laut Mediterania. Penyebaran ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu penyebaran horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan (Suseno 2007).

3.3.3    Komposisi Kimia

Daging ikan cakalang segar mempunyai komposisi kimia yang terdiri dari kadar air 70,40 %, kadar lemak 1,81 %, kadar protein 21,45 %, kadar abu 1,27 % dan kadar serat kasar 1,81 %. Ikan cakalang juga mengandung histidin yang tinggi yaitu 13,4 ppm daging (Garwan 2009). Ikan cakalang Ikan mengandung protein yang cukup tinggi dan komposisi asam aminonya tidak sama dengan hewan-hewan darat. Ditinjau dari kandungan asam aminonya, maka protein ikan diklasifikasikan sebagai sumber protein yang bermutu tinggi sebab mengandung asam amino esensial yang lengkap. Protein hewani disebut juga protein yang lengkap dan bermutu tinggi karena mempunyai asam amino esensial yang lengkap dan susunannya mendekati apa yang diperlukan oleh tubuh dan daya cernanya tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap oleh tubuh juga tinggi. Histidin secara alami ditemukan pada kebanyakan hewan dan tumbuhan terutama yang tinggi proteinnya seperti ikan, unggas, keju dan biji gandum. Histidin adalah salah satu asam amino yang merupakan prekursor histamin. Pada umumnya histidin bebas merupakan histidin yang dihasilkan dari degradasi protein pada saat ikan tersebut mengalami pembusukan (Hartono 2005).

3.3.4    Pemanfaatan

Pemanfaatan dan pengolahan ikan cakalang bermacam-macam, dengan cara pengawetan, fermentasi menggunakan garam, pengeringan. Pengawetan ditujukan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Banyak cara yang telah dilakukan untuk mencegah atau menghambat proses perubahan yang disebabkan oleh bakteri, antara lain dengan menyiangi ikan, merendam ikan dalam zat kimia, menggunakan es batu yang telah diberi zat antibakteri atau melalui proses pembekuan. Fermentasi menggunakan garam mulai digunakan dalam pemanfaatan ikan cakalang Peranan garam dalam fermentasi adalah sebagai penyeleksi mikroorganisme yang diperlukan. Jumlah garam yang ditambahkan berpengaruh pada populasi mikroorganisme dan jenis mikroorganisme yang tumbuh. Oleh karena itu kadar garam dapat digunakan untuk mengendalikan aktivitas fermentasi.

3.4       Ikan pari (Dasyatis kuhlii)

3.4.1    Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Pari (Dasyatis kuhlii)

Ikan pari merupakan salah satu jenis ikan bertulang rawan yang terbesar dengan beberapa spesies diantaranya mencapai ukuran lebar badan 2 m dan bobot tubuh 350 kg. Termasuk famili Dasyatidae yang mencakup 60 spesies dari 5 genera yang masih hidup. Memiliki bentuk badan seperti cawan dengan bangun yang sangat bervariasi , yakni dari hampir bulat sampai dengan bentuk romboid segi lima ekor jauh lebih panjang dari badannya menyerupai cambuk. Tidak mempunyai sirip punggung, sirip dubur dan sirip ekor. Klasifikasi menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Kingdom         : Animalia

Filum               : Chordata

Kelas               : Pisces

Ordo                : Batoidei

Famili              : Dasyatidae

Genus              : Dasyatis

Spesies            : Dasyatis kuhlii

Gambar 5 Ikan pari (Dasyatis kuhlii)

Sumber: Koleksi Pribadi

Umumnya ikan perenang cepat akan mempunyai bentuk tubuh seperti torpedo, yaitu bentuk tubuh yang ramping dengan potongan lintang badannya berbentuk elips dan bentuk ekor yang sempit misalnya ikan pari (Dasyatis kuhlii). Ikan pari (Dasyatis kuhlii) merupakan kelompok ikan bertulang rawan yang umum dijumpai di perairan Laut Jawa. Adapun ciri-ciri dari ikan pari diantaranya kerangka terdiri dari tulang rawan, tidak mempunyai tutup insang, celah insang terbuka dan berada di bawah serta mulut di bawah hidung.  Bentuk tubuh yang berbentuk belah ketupat, ceper, picak (gepeng ke bawah dan tinggi jauh lebih kecil dari pada tebal ke samping), bibir depan segi empat, lebih lebar dari pada panjang. Sirip ikan pari ini tebal dan tidak berlipat-lipat. Sirip ekor tidak simetris, seperti pecut dan kecil di ujungnya, biasanya berduri tajam dan beracun. Ekor berlipatan kulit pada bagian bawahnya, tetapi tidak sampai di ujung pecut. Kulit ikan pari tidak bersisik , tetapu licin dan berduri. Pada punggung terdapat duri berupa benjolan yang terpusat di dua tempat. Duri ini sebagai sirip punggung. Ikan pari berwarna merah sawo matang mengkilat bagian atas dan putih bagian bawah. Selaput kulit pada ekor gelap keunguan, sirip perut berwarna ungu (Wahyuni 2007). Berdasarkan wawancara dengan nelayan sekitar, penangkapan ikan pari menggunakan jaring atau pancing. Waktu penangkapan dilakukan pada siang atau malam hari

3.4.2    Distribusi

Distribusi penyebaran ikan pariIkan pari (famili Dasyatidae) mempunyai. variasi habitat yang sangat luas dengan pola sebaran yang unik (Cartamil et al., 2003). Daerah sebaran ikan pari adalah perairan pantai dan kadang masuk ke daerah pasang surut dan biasanya ditemukan:

  • Di perairan laut tropis (Tam et al., 2003)
  • Di perairan tropis Asia Tenggara (Thailand,Indonesia,Papua Nugini)
  • Amerika Selatan (Sungai Amazon)

Tetapi terdapat sejumlah spesies ikan pari bermigrasi dari perairan laut ke perairan tawar (Yuen et al., 2003). Di perairan laut, ikan pari mempunyai peran ekologis yang sangat penting, terutama sebagai predator bentos (Gray et al., 1997). Namun beberapa aspek biologi (misalnya: reproduksi, diet dan fisiologi) ikan pari belum dikaji secara menyeluruh (Snelson et al., 1988; Gilliam and Sullivan, 1993; Sisneros and Tricas, 2000). Di perairan Indonesia, ikan pari tertangkap hampir sepanjang tahun (Anonim, 1979). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian (1995), bahwa produksi tangkapan ikan pari pada tahun 1993 sebesar lebih kurang 35.686 ton (Statistika Perikanan Indonesia, 1995).

Distribusi ikan pari ke tangan konsumen memiliki karakteristik seperti nelayan bebas menjual hasil tangkapannya kemana saja sesuai harga kesepakatan antara nelayan dengan pembeli. Nelayan juga dapat memasarkan hasil tangkapannya ke pasar – pasar tradisional yang ada disekitar pelabuhan. Selain itu, nelayan juga dapat memasarkan hasil tangkapannya ke pabrik – pabrik pengolahan yang ada disekitar pelabuhan tersebut atau dijual ke agen – agen yang mendatangi nelayan. Distribusi yang dilakukan biasanya melalui sistem rantai dingin (cold chain system) . tujuan diadakannya sistem rantai dingin yaitu untuk mengawasi mutu ataupun mempertahankan mutu dari ikan hasil tangkapannya (Adri M 2007)

Penanganan yang dilakukan terhadap ikan pari ialah mempertahankan mutu ikan pari dengan melakukan penambahan es pada ikan setelah ditangkap. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, Ikan pari tersebut tidak dibersihkan jeroannnya. Ikan tersebut hanya dicuci dengan air bersih, kemudian ikan tersebut dimasukkan kedalam box seperti styrofoam sebagai wadahnya. Menurut nelayan setempat penggunaan styrofoam sebagai wadah ikannya agar es yang sudah dimasukkan kedalam wadah tersebut tetap terjaga suhunya. Selain itu, styrofoam juga lebih murah harganya daripada box yang terbuat dari besi. Menurut Mulyono (2000) perlakuan suhu rendah menggunakan es merupakan salah satu cara yang paling cocok untuk menangani ikan setelah dipanen sampai saat siap untuk diolah lebih lanjut. Cara ini relatif murah dan mudah untuk dikerjakan sesuai dengan kondisi tingkat pengetahuan teknik maupun sosial-ekonomi nelayan, petani ikan dan pedagang ikan saat ini. Untuk melakukan penanganan ikan dengan es secara baik dan mencegah penyebab kerusakan lainnya seperti kontaminasi maupun benturan/tekanan fisik, diperlukan sarana yang cocok dalam jumlah cukup. Oleh karena itu sarana tersebut merupakan syarat mutlak yang harus disediakan diatas kapal penangkap ikan dan di tempat penanganan ikan segar lainnya seperti di dermaga pembongkaran, tempat pelelangan ikan (TPI) dan gudang pada pangkalan pendaratan ikan (PPI) atau pelabuhan perikanan.

3.4.3    Komposisi Kimia

Komposisi ikan pari meliputi kadar air 79,10% , kadar abu 0,83%, kadar lemak 0,42% dan kadar protein 16,86% (berat kering). Kandungan mineral meliputi Na 381,09 mg/100g, Mg 173,55 mg/100g, Ca 21,60 mg/100g, Cu 2,16 mg/100 g, Zn 0,97 mg/100g, K 78,82 mg/100g dan P 146,82 mg/100g. Disamping itu ikan pari juga mengandung asam amino yang cukup tinggi seperti alanin 4,56 g/100g, arginin 10,45 g, asam aspartat 6,01 g, cistin 1,51g, asam glutamate 10,55 g, glisin 10,50 g, histidin 3,84 g, isoleusin 4,68 g, leusin 7,68 g, lisin 5,01 g, methionin 4,41 g, phenilalanin 5,89g, prolin 4,12 g, serin 4,80 g, threonin 6,49 g, tirosin 5,05 g dan valin 4,45 g (Apriyanto 1989). Berdasarkan data diatas terlihat bahwa ikan pari memiliki kandungan gizi tinggi protein dan kalsium.

3.4.4    Pemanfaatan

Ikan pari  belum banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan karena rasanya yang kurang disukai, baunya yang tajam, bentuk tubuhnya yang tidak seperti ikan-ikan lainnya, dan ikan ini mudah busuk. Bagian yang paling banyak dimanfaatkan dari ikan pari adalah tulang dan kulitnya karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pengolahan ikan pari sebagai bahan pangan selama ini belum optimal sehingga tidak banyak orang yang menyukainya. Pengolahan ikan pari hanya terbatas pada pengolahan dagingnya yang dimasak secara langsung dan pengawetan melalui pengasapan atau pengasinan. Hal ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan agar ikan pari banyak digemari masyarakat. Pembuatan ikan asin berbahan dasar ikan pari banyak dikembangkan di daerah Sumatera dan Cirebon. Ikan pari yang diasinkan ini memiliki nilai ekonomi yang rendah terutama setelah merebaknya penggunaan formalin sebagai bahan pengawet dalam ikan asin. (Apriyanto 1989)

Pemanfaatan pada ikan pari tidak hanya pada bagian daging. Daging ikan pari dapat dijadikan abon. Ekor ikan pari juga dapat dimanfaatkan sebagai hiasan. Selain itu kulitnya dapat dijadikan sebagai sumber alternatif gelatin. Kurangnya sumber daya manusia mengakibatkan pemanfaatan ikan pari tidak mempunyai nilai jual yang tinggi khususnya dalam pengolahannya. Sejauh ini, pengolahan ikan pari mentah hanya terbatas pada pengasapan dan pengasinan untuk mengawetkan daging tersebut dari pembusukan. Seperti halnya seorang nelayan di Pelabuhan Ratu yaitu Jaka yang memanfaatkan ekor dari ikan pari sebagai hiasan atau cambuk. Pengolahan yang sering dilakukan biasanya dikeringasinkan. Harga jual ikan pari setelah di tangkap Rp 25.000/ kg, sedangkan berat rata-rata ikan pari per ekor sekitar 7 kg. Menurut Adri M (2007) pemanfaatan ikan pari biasanya hanya berupa bentuk pengasinan, pengeringan, kulitnya yang dimanfaatkan sebagai hiasan yang kemudian di eksport, serta pembuatan eksport.

3.5       Pemindangan

3.5.1    Pembuatan

Pemindangan ikan merupakan salah satu upaya pengolahan dan pengawetan ikan secara tradisional menggunakan teknik penggaraman dan pemanasan. Pengolahan dilakukan dengan merebus atau memanaskan ikan dalam suasana tertentu di dalam wadah.

Gambar 6 Ikan pindang

Sumber: Koleksi Pribadi

Cara pemindangan ada tiga, yaitu pemindangan dalam larutan garam atau pemindangan cue, pemindangan garam, dan pemindangan presto. Jenis ikan yang bisa dipindang cukup beragam. Mulai dari ikan kecil hingga ikan besar dan dari ikan air tawar sampai ikan air laut (Anisah & Susilowati 2007).

Pindang air garam adalah suatu produk hasil hasil teknik pengolahan dan pengawetan ikan, dimana ikan dan garam tersusun dalam wadah dan dicelupkan ke dalam larutan garam mendidih dan direbus dalam jangka waktu tertentu, kemudian dilakukan pengurangan kadar air. Pindang garam adalah suatu produk hasil teknik pengolahan dan pengawetan ikan , dimana ikan dan garam yang telah tersusun dalam wadah perebusan yang telah diberi air kemudian direbus dalam jangka waktu tertentu dan pengurangan air (Widiastuti 2005).

 

3.5.2    Penyimpanan

Tempat pemindangan ikan tongkol merupakan salah satu yang di kunjungi dalam rangkaian praktikum lapang. Proses pembuatan pindang yang digunakan adalah pindang air garam. Ikan yang akan dipindang disortasi menurut ukurannya kemudian direndam di air garam. Ikan kemudian dibungkus dengan kertas koran yang berwarna agar hasil akhir pindang terlihat menarik. Ikan yang telah dibungkus kemudian di masukkan ke dalam wadah dengan kapasitas 35 kg atau setara dengan 240 ekor. Wadah tersebut sebelumnya telah ditaburi garam. Pemindangan 35 kg ikan biasanya membutuhkan 5 kg garam. Garam ditaburi di dasar wadah, di tiap lapisan ikan, dan di lapisan ikan paling atas. Wadah kemudian ditutup kertas bekas kantung semen dan plastik agar air tidak menguap selama proses pemindangan. Ikan kemudian dipindang di tungku selama 6 jam dengan menggunakan kayu bakar.

Penyimpanan ikan pindang dalam waktu yang lama dapat menurunkan mutu dan kualitas dari produk tersebut terutama dari segi kandungan gizi. Penyimpanan akan menyebabkan penurunan kandungan asam linolenat karena adanya reaksi oksidasi, sedangkan kandungan protein cenderung mengalami fluktuasi. Fluktuasi tersebut diduga disebabkan oleh variasi dari ikan itu sendiri. Penyimpanan juga akan meningkatkan jumlah mikroorganisme pada ikan. Hal ini sejalan dengan proses kemunduran mutu (Santoso et al. 1997).

Upaya perpanjangan daya awet ikan pindang selama penyimpanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti penambahan kadar garam, perebusan berulang-ulang atau sterilisasi, pengaturan aktivitas air menggunakan humektan, pengemasan hampa udara, pemasakan bertekanan, dan penyimpanan pada suhu rendah. Upaya-upaya tersebut pada dasarnya memiliki efek samping. Penambahan kadar garam akan mengurangi penerimaan konsumen, perebusan berulang-ulang akan membuat tekstur ikan menjadi keras dan rapuh, pengaturan aktivitas air dengan humektan mendorong pertumbuhan jamur, pengemasan hampa udara berpeluang besar bagi pertumbuhan Clostridium botulinum. Daya awet pindang disesuaikan dengan tujuan pemasaran. Sebenarnya pindang dapat dibuat dengan jangka waktu penyimpanan satu bulan, namun tidak efektif bila lokasi pemasaran tidak jauh dari lokasi pengolahan (Heruwati 2000). Wadah penyimpanan juga sangat menentukan daya awet ikan pada penyimpanan. Wadah yang digunakan pada pengemasan ikan pindang diantaranya adalah plastik, keranjang, dan basket. Plastik digunakan sebagai tempat penyimpanan ikan pindang yang sudah dijemur untuk kelompok kemasan kecil. Keranjang merupakan tempat penyimpanan ikan pindang untuk dipasarkan. Basket digunakan saat ikan baru selesai dari tahap pengolahan (Bank Indonesia 2005).

 

 

4 PENUTUP

 

4.1       Kesimpulan

            Biota-biota yang diamati pada praktikum lapang ini yaitu ikan pari (Dasyatis kuhlii), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), ikan layur (Trichiurus savala), dan udang jerbung (Penaeus merguiensis). Proses penanganan dan pengolahan yang diamati yaitu pemindangan ikan tongkol, ekspor ikan layur, penanganan tuna di atas kapal, dan pengolahan ikan sidat. Metode yang digunakan dalam praktikum lapang ini adalah metode observasi dan wawancara langsung.

 

4.2       Saran

            Penanganan hasil perairan bertujuan untuk mempertahankan mutu ikan. Penanganan yang baik harus dilakukan sejak pertama kali ikan ditangkap, dipindahkan dari alat tangkap, penanganan di atas kapal, saat ikan didaratkan, dan saat ikan dipasarkan. Proses penanganan yang baik akan mempertahankan kesegaran ikan lebih lama. Pengetahuan tentang penanganan yang baik dan higienis wajib dimiliki oleh para nelayan agar dapat menghasilkan ikan dengan kualitas terbaik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adityawarman. 2011.  SDM dan IPTEK, Kunci Sukses Industrialisasi Berbasis Perikanan Budidaya. http://www.antaranews.com/berita. (20 April 2012).

Adri M. 2007. Penelitian keanekaragaman hayati ikan hiu dan pari (Elasmobranchii) di Indonesia. [Laporan kumulatif Program Penelitian dan pengembangan Iptek Riset Kompetitif LIPI]. Jakarta : Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Anisah RN dan Susilowati I. 2007. Kajian Manajemen Ikan Pindang Layang di Kota Tegal. Jurnal Pasir Laut 3(1): 1-18.

Apriyantono. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.

Badarudin dan Wudianto. 2005. Biologi, Habitat serta Penyebaran Ikan Layur. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.

Bank Indonesia. 2005. Pola Pembiayaan Usaha Kecil: Usaha Pemindangan Ikan. Jakarta: Direktorat Kredit, BPR, dan UMKM.

Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Desniar, Poernomo D, Timoryana. 2007. Studi pembuatan kecap ikan selar(Caranx leptolepis) dengan fermentasi spontan. Prosiding. Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Klasifikasi Ikan Laut Untuk Statistik Perikanan Tangkap. Jakarta: Direktorat Jendral Perikanan Tangkap

Emmawati. 2006. Picung ternyata berkhasiat. Harian Umum Republika, Desember 2006 (6).

Fredrick W, Thomas L, Lawson. 2005. Processimg Aquatic Food Products.Maryland: Wiley-interscience publication.

Garwan, R. 2009. Perkembangan histamin selama proses fermentasi penyimpanan produk bekasang jeroan ikan cakalan (Katsuwonus pelamis). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Hartono, R. 2005. Perngaruh pemberian kalium sorbat dan natrium klorida pada pembentukan histamin ikan cakalang. Media Gizi Keluarga 29 (1): 81-89.

Heruwati ES. 2002. Pengolahan ikan secara tradisional: prospek dan peluang pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian 21 (3): 92-99.

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2010. Jakarta : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.

Komar S, kusrini E, Hadi W, Alimudin, Sudrajat A.2008. Filogenetik populasi udang jerbung (FenneroPenaeus merguensis de Man) di Indonesia berdasarkan sekuens 16s-rRNA DNA mitokondria. Akuakultur.3(2):191-198.

Lestari I dan Wirjodirjo B. 2009 Analisis kesejahteraan pelaku industri pengolahan ikan pada komunitas klaster masyarakat nelayan pesisir: sebuah pendekaran dinamika sistem. Institut Teknologi Sepuluh November.

Matsumoto WM, Skillman RA. Dizon AE. 1984. Synopsis of Biological Data on Skipjack Tuna, Katsuwonus pelamis. NDAA Technical Report NMFSCircular.

Mudjiman A.1987. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar swadaya.

Mulyono D. 2000. Peran penanganan pasca panen dalam industri pengolahan hasil perikanan di Sulawesi Tenggara. [Jurnal]. 7 (3).

Naamin N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Panaeus merguiensis de man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Nontji. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.

Nurjanah, Abdullah A, Kustariyah. 2011. Pengetahuan dan Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan. Bogor: IPB Press.

Nurhayati. 2006. Pengaruh Kedalaman terhadap Komposisi Hasil Tangkapan Pancing Ulur (Handline) pada Perikanan Layur di Perairan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Patricio FR. 2002. Katsuwonus pelamis. www.fishbase.org. [4 April 2012].

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bandung: Bina Cipta.

Salamah E, Susanti MR., Purwaningsih S. 2008. Diversifikasi produk kerupuk opak dengan penambahan daging ikan layur. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 11 (1):53-64.

Santoso J, Iriani S, Herlijoso. 1997. Perubahan kandungan asam lemak omega-3 pada pindang ikan kembung (Rastrelliger sp.) selama penyimpanan. BuletinTeknologi Hasil Perikanan 1(3):1-6.

Suseno. 2007. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Jakarta: Cidesindo.

Wahyuni. 2007. Sains Akuatik. Purwokerto: Erlangga.

Widiastuti IM. 2005. Bakteri patogen pada ikan pindang dalam kadar garam yang berbeda. Jurnal Ilmiah Santina 3(2): 279-287.

Widodo AA, Budi IP, Ralph TM. 2010. Jenis dan distribusi ukuran ikan hasil tangkap sampingan (bycatch) pada perikanan tuna di Samudera Pasifik [laporan akhir kegiatan penelitian]. Dewan Riset Nasional, Badan Riset Kelautan dan Perikanan.

Winarno F G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Jakarta: Gramedia.

Laporan fieldtrip PBB

Laporan Fieldtrip                                                Hari/ tanggal     : Minggu/15 April 2012

mk. Pengetahuan Bahan Baku                  Asisten              : Anggraeni Ashory

 

 

 

 

LAPORAN FIELDTRIP PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PELABUHAN RATU

 

 

Kelompok 5

 

Santiara Putri Pramestia                      C34100003

Emilia Dian Prabawati                        C34100012

Reny Hardiyanti                                 C34100021

Marie Violeta Nuna Tukan                 C34100032

Bayu Irianto                                        C34100040

Pipih Mahmudah                                 C34100052

Annisa Wulandari                               C34100056

Maya Rahmanita Hardianti                 C34100062

Khalida Hanum                                   C34100070

Hendra Nur Fauzan                            C34100079

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

1 PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang

Indonesia adalah negara maritim karena memiliki daerah perairan yang sangat luas, yaitu sekitar 2/3 dari keseluruhan luas wilayah negara ini. Potensi perikanan di Indonesia pun sangat bagus, mungkin dipengaruhi oleh posisinya yang masuk kedalam segitiga karang dunia sehingga Indonesia memiliki biodiversitas sangat tinggi. Dengan luasnya perairan dan tingginya potensi produksi perikanan yang dianugerahkan Tuhan ini, maka Indonesia dapat dikatakan memiliki potensi yang tingkat perikanan sehingga ikan yang terdapat di perairan Indonesia pun sangatlah beraneka ragam.

Indonesia memiliki beberapa jenis pelabuhan perikanan, salah satunya adalah Pelabuhan Luas Perikanan Nusantara Palabuhan Ratu yang lokasinya terdapat di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Pelabuhan perikanan nusantara Palabuhan Ratu dibangun tahun 1993 dan disahkan oleh Presiden Soeharto yang menjabat di zaman itu. Dermaga 2 Pelabuhan PPN Pelabuhan Ratu mulai beroperasi pada tahun 2003. Pemerintah merencanakan pengembangan pelabuhan PPN Pelabuhan Ratu menjadi Pelabuhan Perikanan Samudera Pelabuhanratu. Luas pelabuhan ini adalah sekitar 10,2 hektar dan dilengkapi sarana utama berupa kolam, dramaga dan free water. Sejak awal diresmikan hingga saat ini, Palabuhan Ratu telah mendaratkan 6539 ton hasil tangkapan.

            Dalam kunjungan ke Palabuhan Ratu, dijumpai berbagai biota hasil perairan yang baru didaratkan dari air laut dan umumnya masih bermutu segar. Biota-biota yang ditemui di Palabuhan Ratu antara lain ikan tongkol, ikan cakalang, ikan layur, ikan kantong semar, cumi-cumi, berbagai macam udang dan lobster serta ikan tuna yang umumnya belum dewasa. Selain sebagai tempat pendaratan dari banyak spesies penting perikanan tangkap, di daerah sekitar Pelabuhan Ratu juga dipakai sebagai tempat untuk membudidayakan beberapa spesies yang digunakan sebagai bahan baku perikanan, dan juga tempat untuk melakukan pengolahan atau preparasi pertama agar komoditas hasil tangkapan tetap segar. Kegiatan studi lapang ke Palabuhan Ratu dilaksanakan dengan tujuan agar mahasiswa yang mengambil mata kuliah bahan baku hasil perairan dapat mengenal berbagai macam jenis ikan yang didaratkan di pelabuhan ratu dan  mengetahui aspek-aspek yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas bahan baku hasil perairan.

 

1.2            Tujuan

Mengetahui berbagai hal mengenai karakteristik bahan baku yang terdapat di Tempat Pelelangan Ikan Palabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.

 

2 METODOLOGI

2.1       Waktu dan Tempat

Kegiatan fieldtrip di Palabuhan Ratu Sukabumi, Jawa Barat dilaksanakan pada hari Minggu, 15 April 2012 pada pukul 01.00-21.00 WIB.

 

Gambar 1 Peta lokasi Pelabuhan Ratu, Sukabumi

2.2       Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada kegiatan fieldtrip di Pelabuhan Ratu Sukabumi ini adalah kerang, ikan layur, ikan pari, ikan kantong semar, dan ikan tongkol yang digunakan sebagai objek pengamatan. Alat yang digunakan diantaranya kamera, buku dan alat tulis.

2. 3      Prosedur Kerja          

Praktikum Pengetahuan Bahan Baku dan Penanganan Hasil Perairan di Pelabuhan Ratu diawali dengan pengamatan (observasi) jenis – jenis ikan yang telah ditentukan dan wawancara kepada pedagang sekaligus nelayan di pasar ikan. Setelah itu praktikan mengunjungi Kementrian Kelautan dan Perikanan untuk diberi penyuluhan tentang pelabuhan perikanan. Praktikan juga mengunjungi tempat pemindangan, budi daya sidat dan perusahaan ekspor layur dan sidat. Selain itu, praktikan juga melakukan wawancara dengan para nelayan yang mendaratkan ikan di dermaga, khususnya ikan tuna. Setelah mendapatkan informasi tentang ikan yang telah ditentukan kemudian ikan-ikan tersebut difoto utuk didata. Berikut adalah diagram alir prosedur kerja fieldtrip di Pelabuhan Ratu:

       
   
 
     

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2 Diagram alir prosedur fieldtrip di Pelabuhan Ratu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3HASIL OBSERVASI LAPANG

 

3.1        Kerang hijau (Perna viridis)

 

Gambar 3 Kerang hijau (Perna viridis)

Klasifikasi kerang hijau menurut Vakily (1989) adalah sebagai berikut:

Filum               : Molusca

Kelas               : Bivalvia

Sub Kelas        : Lamellibranchiata

Ordo                : Anisomyria

Famili              : Mytilidae

Sub Famili       : Mytilinae

Genus              : Perna L.

Spesies            : Perna viridis L.

Kerang hijau merupakan hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) yang bertubuh lunak (mollusca), mempunyai dua cangkang (bivalvia) yang simetris satu sama lain dan berkaki kecil yang berbentuk kampak. Kerang hijau umumnya hidup di laut dengan cara menempel pada substrat yang keras menggunakan byssus. Secara morfologi, anggota famili Mytilidae mempunyai cangkang yang tipis, keduanya simetris dan umbonya melengkung ke depan. Persendiannya halus dengan beberapa gigi yang sangat kecil. Perna dicirikan dengan bentuk yang agak pipih, cangkang padat, dan mempunyai umbo pada tepi vertikal. Tipe alur cangkangnya konsentrik, bersinar, berwarna hijau, dan kadang-kadang tepinya berwarna kebiruan. Kedua cangkangnya berukuran sama meskipun salah satu cangkang agak sedikit lebih cembung daripada yang lainnya (Augustine 2008).

Komposisi kimia kerang hijau yaitu kandungan protein sebesar 12.03%, kandungan lemak sebesar 2.48%, kandungan karbohidrat sebesar 5.62%, dan kandungan air sebesar 81.13% (Marichami et al. 2011). Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu nelayan di Pelabuhan Ratu, kerang hijau biasa didapatkan di laut sebagai hasil sampingan atau ditangkap melaui tambak mutiara. Alat tangkap yang digunakan menggunakan jaring, sedangkan kerang hijau yang berada pada tambak biasanya menempel pada jaring sekitar tambak. Ukuran yang siap panen adalah ukuran kerang yang berumur 2 bulan. Ukuran maksimal pada kerang  hijau adalah pada saat kerang hijau mencapai umur 3 bulan. Pemanfaatan kerang hijau yaitu dikonsumsi untuk dagingnya, sedangkan pemanfaatan lain yaitu cangkang yang dapat digunakan sebagai hiasan.

3.2        Ikan layur (Trichiurus spp.)

 

Gambar 4 Ikan layur (Trichiurus spp.)

Klasifikasi ikan layur (Trichiurus spp.) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

Kingdom         : animalia

Sub filum        : Vertebrata

Sub kelas         : Teleostei

Ordo                : Percomorphi

Sub ordo         : Scombroidae

Famili              : Trichiuridae

Genus              : Trichiurus

Spesies            : Trichiurus spp.

Ikan layur memiliki badan sangat panjang dan pipih seperti pita. Terdapat gigi yang kuat di kedua rahang gigi yang terletak dibagian depan rahang atas seperti taring runcing dan kuat. Sirip punggung panjang berawal dekat belakang kepal, bagian depan berduri keras yang kadang – kadang terpisah dengan  bagian sirip yang berduri lemah oleh suatu lekukan yang mudah dilihat, bagian yang berduri keras lebih panjang daripada yang beduri lemah. Sirip dada mengecil menjadi seperti duri keras dengan jari – jari berdiameter atau tidak ada sama sekali, sirip dubur pendek, sirip ekor mengecil pada ujungnya, memiliki warna keperakan, dan sedikit gelap sepanjang punggungnya (DKP 2004).

            Daerah penyebaran untuk jenis ikan Layur yaitu tersebar di seluruh perairan Indonesia. Ikan layur merupakan penghuni dasar perairan dan pelagis. Melihat dari morfologi kepala, mulut dan gignya ikan layur tergolong jenis predator yang memangsa hewan – hewan lain yang berukuran lebih kecil dari tubuhnya seperti jenis krustaceae, cephalopoda, dan berbagai jenis ikan lainnya.  Alat penangkapan yang biasa digunakan ialah trawl dasar, pancing ulur, jaring insang dan bubu (DKP 2004).

            Hasil wawancara yang dilakukan pada nelayan yang ada disekitar Palabuhan Ratu ialah jenis ikan layur ditangkap menggunakan alat tangkap longline. Menangkap ikan layur diperlukan umpan berupa ikan tembang. Penangkapan biasanya dilakukan pada malam hari sekitar pukul 20.00 WIB. Fishing ground ikan layur berada di daereah perairan Laut Jawa. Satu kali melakukan perjalanan, hasil tangkapan rata-rata berkisar ratusan kilogram pada musim penangkapannya. Namun untuk musim yang biasa hasil pengangkapan tidak menentu. Ikan layur dijual dengan harga Rp 25.000/ kg. Penanganan yang dilakukan setelah tertangkap biasanya ikan disortir terlebih dahulu dari jenis, ukuran, dan berat, panjang, dan lainnya, setelah itu ikan dikirim ke PT. Auri atau PT. AGB yang ada disekitar Pealabuhan Ratu untuk ditangani lebih lanjut seperti dilakukan pembersihan jeroan, disortir kembali menurut gradenya. Grade untuk masing-masing PT. berbeda-beda bergantung pada ketentuan setiap PT. Tahap berikutnya adalah pengawetan dengan cold storage oleh PT. tersebut unutk mempertahankan mutu ikan yang akan di eksport.

            Komposisi kimia ikan Layur dalam 100 gram bahan akan disajikan pada tabel berikut :

Tabel 1 Komposisi kimia ikan layur (Trichiurus spp.)

Komponen

Kandungan (%)

Air

78,98

Protein

16,38

Lemak

0,70

Abu

1,21

Sumber : (Setiawan 2008)

 

            Pemanfaatan ikan layur hanya berupa ikan konsumsi. Ikan jenis ini juga dapat diolah menjadi berbagai bentuk produk olahan lainnya salah satunya ialah kerupuk. Pada pembuatan kerupuk, daging ikan layur biasanya yang dimanfaatkan dalam pengolahan tersebut. Menurut Susanti (2007) berbagai jenis kerupuk dapat dibuat dari daging ikan layur seperti kerupuk getas dan kerupuk opak.

 

3.3        Ikan tongkol abu-abu (Perna viridis)

 

Gambar 5 Ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol)

Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

Filum               : Chordata

Subfilum         : Vertebrata

Kelas               : Actinopterygii

Subkelas          : Neopterygii

Ordo                : Perciformes

Subordo          : Scombridei

Famili              : Scombridae

Genus              : Thunnus

Spesies            : Thunnus tonggol

Ikan tongkol abu-abu memiliki cirri-ciri pada pangkal sirip sirip punggung, dubur, perut dan dada mempunyai lekukan pada tubuh. Ikan tongkol dapat ditemukan di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik bagian barat. Panjang maksimum ikan tongkol 1 meter. Ikan tongkol ini termasuk ikan perenang cepat karena sirip-sirip pada ikan tongkol dapat dilipat masuk ke dalam lekukan sehingga pdat memperkecil daya gesekan air pada saat ikan sedang berenang dengan kecepatan penuh (Irianto et al. 2007)

Komposisi kimia pada daging ikan berbeda beda tergantung pada jenis, umur, kelamin, dan musim. Komponen kimia utama pada daging ikan adalah air, protein, dan lemak. Kandungan kimia lainnya hanya berjumlah sedikit antara lain karbohidrat, vitamin dan mineral. Ikan tongkol merupakan jenis ikan yang memiliki kandungan gizi yang tinggi dimana nilai protein mencapai 26 %, kadar lemak yang rendah yaitu 2 %, dan kandungan garam-garam mineral penting yang tinggi. Ikan tongkol terdiri dari daging merah dan daging putih (Andini 2006).

Beberapa jenis tongkol bisanya digunakan sebagai bahan baku ikan kaleng. Ikan tongkol termasuk ke dalam golongan tuna, umumnya dinamakan jenis eastern little tuna (Euthynus spp.) sehingga ikan tongkol ini dapat digunakan untuk bahan baku ikan kaleng. Ikan kaleng ini akan di ekspor dan sebagian untuk konsumsi dalam negeri. Golongan  tuna termasuk ikan tongkol juga biasanya  dipasarkan sebagai produk segar dalam bentuk utuh disiangi, sebagai produk beku dalam bentuk utuh disiangi, loin dan steak (Irianto et al. 2007).

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan sekitar Pelabuhan Ratu, ikan tongkol biasanya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap berupa jala atau payang. Penangkapan dilakukan pada waktu siang hari bergantung jenisnya. Banyaknya hasil tangkapan untuk sekali perjalanan berkisar antara 1 kwintal. Harga penjualan ikan tongkol adalah 17.000/kg. ikan tongkol yang dijumpai di tempat pelelangan ikan terdiri dari beberapa jenis, namun jenis tongkol abu-abu merupakan jenis yang sering ditemukan. Pemanfaatan ikan tongkol hanya sebagai ikan konsumsi. Ikan yang tidak terjual diolah menjadi ikan asin dan dijual ke konsumen.

 

3.4       Ikan kantong semar (Mene maculata)

 

Gambar 6 Ikan kantong semar (Mene maculata)

Klasifikasi ikan kantong semar (Mene maculata) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

Kingdom         : Animalia

Filum               : Chordata

Subfilum         : Vertebrata

Kelas               : Actinopterygii

Subkelas          : Neopterygii

Ordo                : Aulopiformes

Subordo          : Percoidei

Famili              : Menidae

Genus              : Mene

Spesies            : Mene maculata

Ikan kantong semar (Mene maculata) menurut merupakan jenis ikan laut yang memiliki bentuk badan hampir menyerupai segitiga, dengan tubuh di bagian bawah garis lateral ukurannya empat kali lebih besar dibandingkan di bagian atasnya. Ikan ini mempunyai satu sirip dorsal yang jumlah jari-jarinya berkurang seiring bertambahnya usia. Selain itu juga mempunyai mulut yang kecil hampir vertikal dengan jumlah gigi yang terbatas (Diniah 2008).

Ikan kantong semar melakukan reproduksi secara dioceous dan pembuahan eksternal. Habitat ikan ini biasanya hidup di air payau dan air laut dengan kisaran kedalaman 1-25 m. Daerah penyebarannya adalah semua laut di daerah tropis dan semua lautan indo pasifik. Ikan ini banyak tertangkap di perairan pantai serta hidup berkelompok sampai kedalaman 80 m (Diniah 2008).

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu nelayan di Pelabuhan Ratu, ikan kantong semar memiliki nama local yaitu ikan eteman. Alat tangkap yang digunakan untuk mengangkap ikan kantong semar adalah jala. Waktu penangkapan dilakukan pada siang hari. Harga ikan ini berkisar antara Rp 10.000 hingga Rp 11.000 per ikat (setiap satu ikat terdiri dari 5 ekor ikan). Hasil tangkapan nelayan tidak tentu bergantung pada musimnya. Pemanfaatan ikan kntong semar hanya sebagai ikan konsumsi. Ikan ini tergolong ikan yang cepat busuk dibandingkan ikan lain dijual. Daya tahan ikan di dalam box berisi es sekitar 1 minggu. Apabila sudah melebihi, ikan akan diolah menjadi ikan asin.

3.5        Ikan pari (Dasyatis kuhlii)

 

Gambar 7 Ikan pari (Dasyatis kuhlii)

Klasifikasi menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Filum               : Chordata

Sub filum        : Vertebrata

Kelas               : Pisces

Sub kelas         : Elasmobranchii

Ordo                : Batoidei

Famili              : Dasyatidae

Genus              : Dasyatis

Spesies            : Dasyatis kuhlii

Umumnya ikan perenang cepat akan mempunyai bentuk tubuh seperti torpedo, yaitu bentuk tubuh yang ramping dengan potongan lintang badannya berbentuk elips dan bentuk ekor yang sempit misalnya ikan pari (Dasyatis kuhlii). Ikan pari (Dasyatis kuhlii) merupakan kelompok ikan bertulang rawan yang umum dijumpai di perairan Laut Jawa. Adapun ciri-ciri dari ikan pari diantaranya kerangka terdiri dari tulang rawan, tidak mempunyai tutup insang, celah insang terbuka dan berada di bawah serta mulut di bawah hidung.  Bentuk tubuh yang berbentuk belah ketupat, ceper, picak (gepeng ke bawah dan tinggi jauh lebih kecil dari pada tebal ke samping), bibir depan segi empat, lebih lebar dari pada panjang. Sirip ikan pari ini tebal dan tidak berlipat-lipat. Sirip ekor tidak simetris, seperti pecut dan kecil di ujungnya, biasanya berduri tajam dan beracun. Ekor berlipatan kulit pada bagian bawahnya, tetapi tidak sampai di ujung pecut. Kulit ikan pari tidak bersisik , tetapu licin dan berduri. Pada punggung terdapat duri berupa benjolan yang terpusat di dua tempat. Duri ini sebagai sirip punggung. Ikan pari berwarna merah sawo matang mengkilat bagian atas dan putih bagian bawah. Selaput kulit pada ekor gelap keunguan, sirip perut berwarna ungu (Wahyuni 2007).

Komposisi ikan pari meliputi kadar air 79,10% , kadar abu 0,83%, kadar lemak 0,42% dan kadar protein 16,86% (berat kering). Kandungan mineral meliputi Na 381,09 mg/100g, Mg 173,55 mg/100g, Ca 21,60 mg/100g, Cu 2,16 mg/100 g, Zn 0,97 mg/100g, K 78,82 mg/100g dan P 146,82 mg/100g. Disamping itu ikan pari juga mengandung asam amino yang cukup tinggi seperti alanin 4,56 g/100g, arginin 10,45 g, asam aspartat 6,01 g, cistin 1,51g, asam glutamate 10,55 g, glisin 10,50 g, histidin 3,84 g, isoleusin 4,68 g, leusin 7,68 g, lisin 5,01 g, methionin 4,41 g, phenilalanin 5,89g, prolin 4,12 g, serin 4,80 g, threonin 6,49 g, tirosin 5,05 g dan valin 4,45 g (Apriyanto 1989). Berdasarkan data diatas terlihat bahwa ikan pari memiliki kandungan gizi tinggi protein dan kalsium.

Berdasarkan wawancara dengan nelayan sekitar, penangkapan ikan pari menggunakan jarring atau pancing. Waktu pengangkapan dilakukan pada siang atau malam hari. Pemanfaatan pada ikan pari tidak hanya pada bagian daging. Daging ikan pari dapat dijadikan abon. Ekor ikan pari juga dapat dimanfaatkan sebagai hiasan. Selain itu kulitnya dapat dijadikan sebagai sumber alternatif gelatin. Kurangnya sumber daya manusia mengakibatkan pemanfaatan ikan pari tidak mempunyai nilai jual yang tinggi khususnya dalam pengolahannya. Sejauh ini, pengolahan ikan pari mentah hanya terbatas pada pengasapan dan pengasinan untuk mengawetkan daging tersebut dari pembusukan. Seperti halnya seorang nelayan di Pelabuhan Ratu yaitu Jaka yang memanfaatkan ekor dari ikan pari sebagai hiasan atau cambuk. Pengolahan yang sering dilakukan biasanya dikeringasinkan. Harga jual ikan pari setelah di tangkap Rp 25.000/ kg, sedangkan berat rata-rata ikan pari per ekor sekitar 7 kg.

           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4 SIMPULAN DAN SARAN

4.1        Simpulan

            Pelabuhan Ratu, Sukabumi merupakan salah satu daerah yang berperan dalam bidang perikanan, dibuktikan dengan beragamnya hasil tangkapan nelayan serta aktivitas-aktivitas perikanan lainnya. Observasi lapang yang dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan Pelabuhan Ratu, Sukabumi menambah pengetahuan peserta fieldtrip dalam hal pemanfaatan dan pengalaman dari berbagai nelayan. Waktu penangkapan masing-masing ikan berbeda tergantung jenisnya. Hampir seluruh nelayan menggunakan jaring sebagai alat tangkap. Apabila ikan tidak laku terjual tahap pengasinan merupakan tahap paling akhir dari semua jenis ikan untuk menghindari kebusukan.

4.2        Saran

Fieldtrip sudah dilakukan dengan baik, namun perlu perbaikan dari segi tempat tujuan yaitu lebih diperbanyak lagi agar biota yang dipelajari lebih banyak dan beragam. Praktikan juga dapat membandingkan mutu suatu biota perairan dari awal penanganan hingga sampai di tangan konsumen.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Andini YS. 2006. Karakteristik surimi hasil ozonasi daging merah ikan tongkol (Euthynnus sp.) [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Apriyantono. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.tar Pustaka

Augustine D. 2008. Akumulasi hidrokarbon aromatik polisiklik (pah) dalam kerang hijau (perna viridis l.) di perairan kamal muara, teluk jakarta [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

 

[DKP] Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. 2004. Klasifikasi Ikan Laut Unutk Statistik Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan: Direktorat Jendral Perikanan Tangkap

Irianto HE dan Akbarsyah Teuku MI. 2007. Pengalengan ikan tuna komersial. Jurnal squalen. 2 (2)

Marichamy G, Shanker S, Saradha A, Nazar A.R dan Badhul Haq M.A. 2011. Proximate composition and bioaccumulation of metals in some finfishes and shellfishes of Vellar Estuary (South east coast of India). European Journal of Experimental Biology. 1 (2) : 47-55

 

Saanin. 1984. Taksonomi dan Kunci Ikan. Bina Cipta. Bandung.

Setiawan E. 2008. Diversifikasi produk tradisional kerupuk getas dari ikan lele (Clarias batrachus) dan ikan layur (Trichiurus spp.). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor

Susanti M R. 2007. Diversifikasi produk kerupuk opak dengan penambahan daging ikan layur (Trichiurus spp.). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor

Vakily, J.M. 1989. The biology and culture of genus Perna. ICLARM. Studies and Reviews. Oventsche Gesselschaff for Technische Zusammeurnabeit (GTZ) GMBH Eschborn. Federal Republic of Germany.

 

Wahyuni. 2007. Sains Akuatik. Erlangga. Purwokerto. 10 (2) : 141-147.